Friday 13 January 2012

Sebuah cerita

Bagian II
Lautan
Aku bergerak mengikuti matahari. Dan sekumpulan awan di langit seakan mengiringi kemana langkahku pergi. Matahari menjadi penunjuk jalan bagiku dan sang Rembulan melindungiku dari segala bentuk kejahatan yang terselimuti kelam. Membuatku dapat beristirahat dengan pulas dan bermimpi tentang dirinya.

Tatkala fajar merekah,aku merasakan sesuatu yang terasa asing di hidungku. Sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya.. seperti aroma garam. Aku akui bahwa aroma ini menarik perhatianku walaupun aku sebenarnya lebih menyukai aroma yang ditampilkan oleh saudaraku itu.

Aku mengikuti bau yang terasa di hidungku ini. Semakin jauh ku melangkah,aku lebih sering menemukan pohon-pohon palem dan juga kelapa di sekitar jalan. Lalu pasir putih menghiasi jalurku dan disertai deburan ombak lembut yang bergulung. Aku menemukan laut ! Ini adalah kali pertama aku melihat sebuah lautan biru yang segar dan cerah ceria. Dia menyambutku dengan senyuman khas daerah tropis. Dengan lesung pipinya yang merona merah entah karena sinar mentari atau mungkin karena sikapnya yang pemalu. Ia menemaniku dan membawakan segala yang ia miliki untuk diriku. Dan aku mulai merasa bersalah.

Aku pun berbincang-bincang dengan dirinya. Sebagai sebuah lautan,ia sangatlah dalam ilmunya,bahkan melebihi diriku. Aku bertanya kepadanya “Jikalau aku boleh tahu,siapakah namamu hai lautan?”. Ia pun menjawab dengan lembut,”Kau bisa memanggilku Rana”.

Aku terkejut dengan keadaan yang berubah begitu cepat. Baru saja dua minggu berlalu,ia tiba-tiba marah kepadaku. Aku tidak tahu apa penyebabnya,sama sekali tidak tahu. Ia hanya mengucapkan kata “Kamu harus memahami dirimu sebelum memahami diriku”. Dan jujur saja,aku tak mengerti. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana lagi hingga akhirnya aku memilih untuk menjauh dari dirinya dahulu. Aku tahu bahwa amarahnya adalah tanda bahwa ia menyayangiku. Namun aku hanya tak mampu tuk mengerti maksud dari perkataannya. Ia hanya membisu tatkala aku menanyakan maksud dari kalimat itu.

Aku menemukan sebuah gua “kesendirian” yang tak terlalu jauh dari tempat sang lautan itu. Aku lama merenung dan berpikir tentang kesalahanku terhadapnya.

Telah dua minggu aku dalam kesendirianku,namun tetap saja aku tak menemukan yang kucari. Jawaban yang layaknya misteri terbaik dunia ini.

Tak lama setelah itu,aku berusaha kembali menuju lautan itu dengan maksud untuk pergi kembali meneruskan perjalananku. Sesampainya disana,ia memelukku dengan pelukan yang sangat erat dan berbisik “maafkan aku…Nara…” Perasaanku semakin bercampur aduk tak jelas aturan yang mengaturnya. Setelah dibumbui dengan “kebuntuan” dan diberikan penghias sebuah keputusan tuk pergi,kali ini dia menaburkan bumbu “harapan" kepadaku. Namun perasaan senang telah melunturkan ingatan burukku tentangnya di waktu kemarin.

Aku kembali bersama dengannya. Menghabiskan hari-hariku bersama dengannya. Setiap senyumnya,setiap tawa kecilnya yang renyah dan wajah ayu nya yang segar setiap hari membuatku benar-benar telah melupakan yang terlah terjadi sebelumnya. Namun itu semua tidak bertahan lama.. Entah mengapa,ia seakan menyembunyikan sesuatu dariku selama ini. Awalnya aku tidak terlalu mementingkan firasat ini. Namun lama kelamaan,aku semakin gelisah. Aku tidak ingin menyakitinya dengan menanyakan tentang firasatku ini kepadanya. Dan aku pun memilih untuk kembali melanjutkan perjalananku,karena aku rasa aku telah membuang waktu begitu banyak tanpa tujuan yang jelas. Dan saat hujan sedang menerpa diantara diriku dan dirinya,aku mengucapkan kata perpisahan kepadanya dan mulai melangkah pergi tanpa menatap wajahnya lagi. Aku takut keputusanku ini berubah karena melihat wajahnya itu. Dan aku pun mengabaikan setiap panggilan dari dirinya,walaupun aku sendiri tidak mau ini terjadi...

Dan dari jauh, kulihat ia menangis...

(19 September 2010)

No comments:

Post a Comment