Tuesday 30 July 2013

Aku berjalan melewati sebuah kerajaan. Daerahnya sangatlah subur dan penduduknya terlihat bahagia disana. Tampak kebahagiaan dan cinta sedang bersemi di dalamnya. Seperti sejuknya aliran sungai yang mengalir lembut tepat melintasi kerajaan tua tersebut.

Entah bagaimana, mataku tertuju kepada sesosok pengemis tua yang terduduk di tepi jalan. Tubuhnya kurus, kepalanya tertunduk dan wajahnya pun tertutup dalam gelap bayang topi jerami tua yang ia kenakan. Pakaiannya lusuh dengan banyak robekan dimana-mana dan celana yang hanya menutupi hingga lututnya. Alas kakinya hanyalah titipan kulit dari Tuhannya. Namun, bagaimana mungkin, tidak ada satupun penduduk di tempat ini yang memberikan rasa belas kasihan terhadapnya. Bahkan beberapa anak kecil pun terlihat mengganggu pengemis tua tersebut...

Ah... Sementara tubuhku semakin berteriak meminta haknya, aku mengeluarkan persediaan makanan yang kusimpan di dalam kain yang selama ini kubawa. Kulihat, hanya tersisa sepotong roti kering pemberian seorang ahli agama disana. "Ah.. Ada yang lebih membutuhkan benda ini daripada diriku. Bersabar ya tubuhku, Tuhan kita tidak pernah tidur dan terus melihat kita yang peduli terhadap ciptaan-Nya yang lain." ucapku berusaha menghibur diri yang sudah hampir dua hari ini belum mendapatkan haknya.

Kuhampiri pengemis tua itu dan aku langsung duduk di sebelahnya, sementara tatapan para pejalan kaki di sekitar tempat pengemis tua itu berada memandangku penuh benci dan beberapa terlihat menggumamkan kata-kata yang kasar.

Sejenak, kuperhatikan pengemis ini hanya terus saja menunduk. "Silahkan pak, dimakan rotinya" ucapku seraya menyodorkan satu-satunya makanan yang mungkin bisa kumakan hari itu.

Ia mengangkat wajahnya dan matanya menatap langsung kepadaku... Matanya penuh dengan kewibawaan dan kebijaksanaan. Perlahan, ia memperhatikan keadaanku dan ia berkata "Mari kita makan bersama" serunya dengan tersenyum dan membagi dua roti yang kuberikan, dengan bagian yang besar ia berikan untukku dan ia memakan sisanya.

Setelah selesai memakan roti tersebut, aku pun bertanya kepadanya perihal bagaimana bisa ia menjadi seorang pengemis di sebuah kerajaan yang sangat terlihat makmur.

Ia pun membetulkan posisi duduknya menjadi tegap dan mengarahkan tubuhnya condong kepadaku. Ia menghela nafas sejenak seraya melihat ke langit yang memayunginya dan berkata "Apakah engkau mempercayaiku? Aku hanyalah seorang pengemis di pinggir jalan, apakah engkau akan mempercayaiku?". Aku pun menjawab "Ya, aku percaya".

Ia pun menghela nafasnya dan bersiap-siap untuk berbicara.

"Baiklah anak muda, dengarkan kisah ini baik-baik. Aku dahulu adalah seorang pangeran di kerajaan ini. Raja yang sekarang menjabat adalah adikku dan raja yang terdahulu adalah almarhum ayahku. Adapun ibu ku masih hidup di dalam istana sana".

"Eh, bagaimana mungkin? Kau adalah seorang calon raja, mengapa engkau terdampar di pinggir jalan kota tempat mu ini?"

"Aku dahulu hidup di dalam sana. Di balik tembok yang ternyata banyak di impikan oleh mereka yang hidup di luar tembok batu itu. Ketika aku remaja, ayahku memintaku untuk menimba ilmu pemerintahan di berbagai tempat di dunia ini, terutama di kerajaan-kerajaan yang ada di seluruh dunia ini. Saat itu, aku hanya bisa patuh dan aku pun memulai perjalanan ku untuk menimba ilmu. Aku berhasil menjelajahi dunia dalam waktu kurang dari tiga tahun, dan aku kembali menuju istana ini.

Sepanjang perjalanan pulang, aku mencoba untuk memahami dan menarik kesimpulan bahwa negeri ini butuh pengembangan di bidang ekonomi, yaitu pengkaderan para saudagar agar dapat menopang stabilitas keuangan negeri ini. Sekalgus juga untuk dapat menaikkan taraf kehidupan masyarakat dan kesejahteraan. Sebelumnya, negeri ini adalah negeri yang hampir hancur akibat kemiskinan dan kriminalitas yang melanda. Tangisan para tunawisma dan peminta-minta di jalanan adalah hal biasa. Masyarakat tidak menggubrisnya karena mereka pun belum mampu mencukupi kehidupan mereka sehari-hari.

Dengan langkah bangga dan bahagia, aku berlari menuju altar tempat almarhum ayahku dulu berada dan menceritakan semua hal yang aku dapatkan dan yang ingin aku lakukan. Aku menceritakan pula kisah seorang Nabi besar dari tanah Timur yang juga menjadi seorang saudagar dan menekankan aliran harta sebagai sumber kehidupan sosial melalui zakat, infaq dan shadaqah. Aku pun mengajak mereka untuk pergi menemuinya dan agar kedua orangtua ku ini paham terhadap apa yang aku pikirkan. Namun, aku terkejut ketika mereka-orangtuaku menolaknya dan ternyata, tidak setuju terhadap keinginanku.

Akhirnya, aku pun pergi dari istana demi mewujudkan impianku. Kala itu, aku mencintai seorang gadis sederhana yang biasa kutemui di sebuah tempat dimana anak-anak kecil berkumpul dan belajar. Aku pun mengutarakan keinginanku untuk menikahinya dan dengan halus, ia menolak. Hatiku hancur, namun, aku harus tetap berjalan demi mimpiku.

Waktu terus berlalu, namun ternyata kehidupanku hanyalah seperti seekor anjing yang kehilangan tuannya. Segala macam hal yang kuusahakan selalu menemui kegagalan. Aku pun kembali menuju mereka dan lagi, menceritakan mimpiku dan meminta restu mereka. Namun lagi-lagi mereka menolak dan lebih memilih aku menjadi seorang raja yang hidup dari bayaran rakyat daripada seseorang yang mandiri. Aku pun pergi dan terus mencoba.

Namun memang, keridhaan orangtua adalah hal yang mutlak, persis seperti yang dikabarkan oleh Nabi besar itu. Hingga akhirnya, masa mudaku telah habis dan semua tenaga dan idealisme yang kumiliki pun akhirnya sampai pada batasnya, aku mendengar kabar bahwa ayahku wafat. Semua berduka, termasuk diriku. Aku bergegas pulang ke istana dengan pakaian lusuh ini dengan penuh perasaan menyesal.. Namun, ibuku sendiri yang tidak mengizinkanku untuk masuk. Aku diusir oleh para penjaga istana dan selang beberapa hari kemudian, adikku diangkat menjadi raja.

Setelah pengangkatannya, ia menemuiku dan berkata ingin sekali mewujudkan mimpi-mimpiku. Namun, aku yang telah habis dayaku, hanya mengomentarinya secara pesimis. Walau begitu, adikku terus memaksaku hingga akhirnya aku berikan semua ilmu yang aku miliki kepadanya. Dan akhirnya, perlahan berubahlah negeri ini menjadi negeri yang makmur. Adikku sangat berterima kasih kepadaku dan memintaku untuk kembali ke istana serta menjelaskan kepada ibuku bahwa kesuksesan negeri ini juga berkat diriku. Aku pun mengiyakannya berharap agar ada perubahan dalam kehidupan ku. Namun lagi-lagi, penolakan dan sakit hati masih membekas di hatinya. Dan aku pun pergi ke tempat ini dan duduk menghabiskan waktuku disini seraya menyesali masa lalu. Walaupun begitu, adikku masih menyempatkan diri menemui ku dengan melepas jubah kerajaannya dan memberikanku makanan setiap harinya. Karena, sang Ratu telah mengeluarkan peraturan untuk tidak memberi makan seorang pengemis dan sayang, pengemis di negeri ini hanya tinggal aku seorang."


Setelah mendengarkan kisahnya, aku pun perlahan memohon izin untuk pergi seraya memberikan beberapa keping uang emas yang kumiliki serta memohon untuk mendo'akan diriku. Tak lupa ku titipkan salam bagi sang raja. Dan aku pun pergi meninggalkan kerajaan itu dengan menangis.

Menangis untuk segera bertemu dengan kedua orangtua ku, dan juga menangis atas hati para rakyat yang sudah membeku.