Friday 13 January 2012

Sebuah cerita

Bagian V

Rembulan

Aku telah cukup lama menanti. Dan kini,kedekatanku dengan Khafiya jauh lebih baik daripada saat-saat pertama bertemu. Bersama dengannya,aku melukis langit dengan jari-jari tangannya yang lembut. Dan ketika malam tiba,aku menatap langit yang gelap gulita. Sang-Rembulan seakan sedang tidak ingin menatapku. 
Namun itu cukup untuk membuatku membuka kembali ingatanku di waktu lampau.

Aku teringat tentang pertemuan pertamaku dengan Wulan,sebuah oasis kecil di tengah padang pasir yang luas itu. Waktu itu aku masih terlalu muda untuk memahami arti cinta. Yang kurasakan hanya canda dan tawa di setiap waktunya. Walaupun terkadang ia menggangguku,tapi tetap saja semua akan kembali seperti sedia kala.

Lalu aku teringat tentang pertemuanku dengan Sang-Lautan,Rana. Entahlah… Aku tidak merasakan apa-apa ketika mengingat itu. Karena yang kutahu,sifat yang ia miliki seperti dirinya apa adanya. Ia membawaku dengan lembut ketika bulan purnama memancarkan kecantikannya. Namun ia mencampakkanku ketika bulan gelap. Seperti itulah yang ia miliki. Pasang surut mengikuti keadaan yang ia miliki dan yang sedang ia alami. Setidaknya itu memberikan peringatan bagiku untuk waktu yang sedang merajut kejadian-kejadian yang akan aku alami.

Dan tanpa kusadari,sebuah awan putih melintas di atas pandanganku. Memang bukan Lina,tetapi itu cukup untuk membuatku memutar kembali rekaman yang dahulu.

Ya…Dirinya seperti awan itu. Ia lembut,cantik dan menawan serta meneduhkan para pengembara. Namun harus kuakui,segala sesuatunya hampir tidak pasti. Disaat cahaya menerpa tubuhnya,ia akan tidak terlihat. Dan disaat cahaya yang ada berada pada kondisi yang ideal,ia akan terlihat indah. Tapi apakah harus seperti itu? Sudahlah,aku hanya bisa menertawakan masa lalu.

Ternyata aku terlalu terbawa suasana saat itu hingga aku tidak menyadari bahwa Sang-Ruby hijau itu telah berada di sampingku. Harus ku akui,ia jauh lebih matang dalam berfikir daripada diriku. Namun tetap saja,terkadang ia keras kepala walaupun aku terkadang jauh lebih keras kepala daripada dirinya.

Aku pikir aku saat ini sedang berkhayal. Tapi ternyata tidak.

Dan aku sedang berada pada waktu dimana Sang-Rembulan mulai tergelincir menuju peraduannya. Sejenak,aku memejamkan mataku untuk merasakan manisnya udara malam hari dan harumnya wewangian yang ia pakai dari tubuh-tubuh bunga yang menebarkan pesonanya bagi para makhluk nocturnal. Sebuah kecantikan yang tersembunyi dibalik selimut malam.

Dan disaat aku membuka mataku,semburat cahaya kehijauan berjalan melintas di hadapanku dengan jelasnya. Dan aku berfikir bahwa itu adalah Aurora. Begitu indah…

Hampir saja aku terlambat menyadari bahwa Sang-Ruby tengah memudar...
(28 Mei 2011)

Sebuah cerita

Bagian IV
Ruby
Keesokan harinya,aku mendapatkan sebuah balasan surat. Bukan dari Wulan… Dengan perlahan aku membuka surat itu dan ternyata itu berasal dari Ruby hijau itu! Dengan perlahan aku membuka surat itu dan mulai membaca isinya. Ia menulis “Maaf ya,aku baru bisa membalas suratmu sekarang. Aku sudah mendengar tentangmu dari kakak ku,oasis itu. Perkenalkan,namaku Khafiya”. Aku hanya terdiam melihat balasannya yang teramat sangat singkat. Dan seingatku,aku mengirimkan surat kepadanya adalah dua tahun yang lalu.
Aku pun mulai mencari informasi mengenai tempat Ruby itu berdiam diri. Ternyata ia tinggal di sebuah pegunungan dimana ia berdiam di puncak gunung yang terindah. Aku pun mulai mencari dan akhirnya kutemukan sudah pegunungan yang dimaksudkan. Dari kejauhan saja,aku sudah dapat merasakan pancaran kecantikannya yang tergambar jelas di gunung tersebut. Sebuah pelangi yang seakan melompati gunung itu dan juga deru air terjun yang memanjakan telingaku. Aku pun terus menuju puncaknya yang dingin…
Setiap kali aku bertanya kepada para warga yang berada di sekitar gunung itu,mereka selalu mengatakan,”Dia wanita yang cantik serta baik budi pekertinya. Seorang wanita yang penuh dengan kreatifitas yang tinggi serta amatlah dalam lautan ilmunya. Dia ibarat kata seorang wanita yang hanya ada tiap seribu tahun sekali di dunia yang fana ini”.
Aku hampir sampai ketika senja semakin menutup mataku. Dan,aku hanya dapat melihat dirinya dari kejauhan saja.. Aku tak dapat mendekatinya sedikitpun. Setiap kali aku berusaha tuk mendekat,ia menjauhiku. Namun ia tetap berbicara denganku walaupun aku sendiri tak dapat melihat wajahnya langsung.
Namun dari sinilah,aku mulai merasakan sesuatu yang membuat semangatku kembali lagi. Sesuatu yang mungkin telah lama hilang ternyata berada disini. Aku merasakan sebuah keterikatan dengan dirinya walaupun tidak sama seperti yang kurasakan dengan orang-orang yang kutemui sebelumnya. Bahasa kesunyianlah yang selalu menyatukan diri kami berdua.
Lalu,kukirimkan surat untuk oasis itu “Aku sepertinya akan tinggal lama sekali di tempat ini. Terima kasih banyak ya,aku pasti akan menjengukmu lagi”.
Dan dari dirinya aku belajar bahwa jika cinta datang tidak pada waktunya,maka engkau tidak akan hidup. Karena cinta yang hadir tidak pernah tercipta untuk menyakiti siapapun. Dan sebuah persahabatan lebih indah dari sebuah kisah cinta.
(19 September 2010)

Sebuah cerita

Bagian III
Awan
Telah hampir satu bulan lamanya aku berjalan di dataran tandus ini untuk menuju sebuah kota yang tertera dalam peta milikku. Sebuah kota yang pernah menjadi pusat penjajahan dalam sejarah kelam negara ini. Sebuah kota yang bernama “AVIA”

Aku mencari sebuah penginapan biasa saja yang tidak terlalu mewah dan berdiam di kota itu selama mungkin hingga aku merasa sanggup tuk melanjutkan perjalananku kembali. Aku merasa senang,merasa terhibur. Namun,mengapa hanya hampa yang dapat kurasakan dengan jelas? Aku harap agar aku bisa kembali seperti sedia kala dalam waktu dekat..

Aku menuliskan banyak surat untuk sang oasis yang telah menjadi penyelamatku dan juga saudaraku. Semuanya aku tulis dengan gembira dan dengan hati yang berdegup. Dan selama di kota ini,aku tidak pernah tidak mengirim walau hanya sebuah surat kepada osis tersebut.

Telah satu minggu aku berada di kota ini. Namun aku masih seperti mayat hidup yang terus menerus membesar dalam kebohongan.

Aku berjalan di taman kota dan kudengar percakapan dua orang wanita muda yang saling memuji. Aku kira mereka saling memuji satu sama lainnya,namun ternyata mereka membicarakan sesuatu. Mereka membicarakan tentang kedatangan sebuah awan dari Utara. Sebuah tempat dimana kebijaksanaan,kesetiaan dan kecantikan berasal. Dan dari yang aku dengar,ia akan tiba di kota ini esok pagi. Aku menjadi tak sabar dengan datangnya hari esok.

Keesokan harinya,aku melihat ia datang dengan para masyarakat berhamburan untuk melihat dirinya. Sebuah sosok yang amat cantik melewati keramaian itu. Wajahnya yang putih bersih serta senyumannya yang menyejukkan dan teduh membuat aku sedikit tidak percaya bahwa ada wanita yang begitu sempurnanya bentuk fisik yang ia miliki. Dari kejauhan,aku sedikit mengaguminya,namun tiba-tiba aku seperti membeku. Aku merasakan bahwa ia melihat langsung kepada diriku. Awalnya aku melihat ke sampingku,mungkin saja ia melihat kepada orang yang berada di sekitarku. Namun prasangka itu salah. Ia justru menghampiriku dan mengajakku jalan menuju sebuah tempat yang ia bilang bahwa ini adalah tempat favoritnya di kota ini.

Dua bulanlah sudah aku bersama dirinya di kota ini. Dari berbagai pembicaraan antara kami berdua,aku mengetahui bahwa ia bernama Lina. Dan ketika bersama dia, aku pernah dikejutkan oleh sikap dia yang tidak normal pada suatu hari. Dan di penghujung hari itu, ternyata dia datang kepadaku dalam keadaan paling cantik yang belum pernah aku lihat pada dirinya sebelum ini. Ia mempersiapkan kejutan ini untuk memperingati hari lahirku. Mungkin aku adalah lelaki beruntung saat itu. Namun, entah mengapa, pertemuanku dengan Lina kali ini terasa tidak sama seperti pertemuanku dengan Rana maupun Wulan. Aku merasa ini tidak seharusnya terjadi… Ya, lebih tepatnya, aku cemburu. Aku pun mengatakan kepadanya bahwa aku akan melanjutkan perjalananku esok hari,dan dia hanya mengangguk saja sambil berlalu..

(19 September 2010)

Sebuah cerita

Bagian II
Lautan
Aku bergerak mengikuti matahari. Dan sekumpulan awan di langit seakan mengiringi kemana langkahku pergi. Matahari menjadi penunjuk jalan bagiku dan sang Rembulan melindungiku dari segala bentuk kejahatan yang terselimuti kelam. Membuatku dapat beristirahat dengan pulas dan bermimpi tentang dirinya.

Tatkala fajar merekah,aku merasakan sesuatu yang terasa asing di hidungku. Sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya.. seperti aroma garam. Aku akui bahwa aroma ini menarik perhatianku walaupun aku sebenarnya lebih menyukai aroma yang ditampilkan oleh saudaraku itu.

Aku mengikuti bau yang terasa di hidungku ini. Semakin jauh ku melangkah,aku lebih sering menemukan pohon-pohon palem dan juga kelapa di sekitar jalan. Lalu pasir putih menghiasi jalurku dan disertai deburan ombak lembut yang bergulung. Aku menemukan laut ! Ini adalah kali pertama aku melihat sebuah lautan biru yang segar dan cerah ceria. Dia menyambutku dengan senyuman khas daerah tropis. Dengan lesung pipinya yang merona merah entah karena sinar mentari atau mungkin karena sikapnya yang pemalu. Ia menemaniku dan membawakan segala yang ia miliki untuk diriku. Dan aku mulai merasa bersalah.

Aku pun berbincang-bincang dengan dirinya. Sebagai sebuah lautan,ia sangatlah dalam ilmunya,bahkan melebihi diriku. Aku bertanya kepadanya “Jikalau aku boleh tahu,siapakah namamu hai lautan?”. Ia pun menjawab dengan lembut,”Kau bisa memanggilku Rana”.

Aku terkejut dengan keadaan yang berubah begitu cepat. Baru saja dua minggu berlalu,ia tiba-tiba marah kepadaku. Aku tidak tahu apa penyebabnya,sama sekali tidak tahu. Ia hanya mengucapkan kata “Kamu harus memahami dirimu sebelum memahami diriku”. Dan jujur saja,aku tak mengerti. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana lagi hingga akhirnya aku memilih untuk menjauh dari dirinya dahulu. Aku tahu bahwa amarahnya adalah tanda bahwa ia menyayangiku. Namun aku hanya tak mampu tuk mengerti maksud dari perkataannya. Ia hanya membisu tatkala aku menanyakan maksud dari kalimat itu.

Aku menemukan sebuah gua “kesendirian” yang tak terlalu jauh dari tempat sang lautan itu. Aku lama merenung dan berpikir tentang kesalahanku terhadapnya.

Telah dua minggu aku dalam kesendirianku,namun tetap saja aku tak menemukan yang kucari. Jawaban yang layaknya misteri terbaik dunia ini.

Tak lama setelah itu,aku berusaha kembali menuju lautan itu dengan maksud untuk pergi kembali meneruskan perjalananku. Sesampainya disana,ia memelukku dengan pelukan yang sangat erat dan berbisik “maafkan aku…Nara…” Perasaanku semakin bercampur aduk tak jelas aturan yang mengaturnya. Setelah dibumbui dengan “kebuntuan” dan diberikan penghias sebuah keputusan tuk pergi,kali ini dia menaburkan bumbu “harapan" kepadaku. Namun perasaan senang telah melunturkan ingatan burukku tentangnya di waktu kemarin.

Aku kembali bersama dengannya. Menghabiskan hari-hariku bersama dengannya. Setiap senyumnya,setiap tawa kecilnya yang renyah dan wajah ayu nya yang segar setiap hari membuatku benar-benar telah melupakan yang terlah terjadi sebelumnya. Namun itu semua tidak bertahan lama.. Entah mengapa,ia seakan menyembunyikan sesuatu dariku selama ini. Awalnya aku tidak terlalu mementingkan firasat ini. Namun lama kelamaan,aku semakin gelisah. Aku tidak ingin menyakitinya dengan menanyakan tentang firasatku ini kepadanya. Dan aku pun memilih untuk kembali melanjutkan perjalananku,karena aku rasa aku telah membuang waktu begitu banyak tanpa tujuan yang jelas. Dan saat hujan sedang menerpa diantara diriku dan dirinya,aku mengucapkan kata perpisahan kepadanya dan mulai melangkah pergi tanpa menatap wajahnya lagi. Aku takut keputusanku ini berubah karena melihat wajahnya itu. Dan aku pun mengabaikan setiap panggilan dari dirinya,walaupun aku sendiri tidak mau ini terjadi...

Dan dari jauh, kulihat ia menangis...

(19 September 2010)