Thursday 12 January 2012

Sebuah cerita

Bagian I
Oase
Aku telah mengembara sepanjang nafas mengantarkanku. Separuh nafas dan ragaku pun kian letih hingga burung gagak pun telah mulai menatapku dengan tatapan kebisuan yang amat dalam.
Lalu mataku menerawang ambang penglihatanku yang melemah. Seluas padang pasir yang menyelimutiku di tengah dahaga yang mencekikku. Aku tatap lemah kebanggaan dari sebuah bayangan matahari, dan aku melihatnya! Sebuah oasis yang penuh dengan kesejukan,keindahan dan ketenangan yang ia ciptakan. Namun aku enggan tuk mendekat. Aku takut mataku menipu diriku lagi seperti yang terjadi di masa lalu.

Aku masih terdiam disini. Di tengah selimut pasir yang menghisap ragaku. Dan aku masih ditemani gagak hitam yang menatapku,layu.

Malam mulai menghampiriku dengan jubah hitamnya yang menyejukkan. Aku terdiam mengumpulkan segenap tenagaku,menyambut hari esok sebagai penentuan terakhir.

Sang Fajar mulai menyingkap jubah sang Rembulan. Dan entah mengapa,seiring dengan tersingkapnya jubah sang Rembulan itu,sesuatu tampak ingin ditunjukkan oleh sang Fajar kepadaku,sesuatu yang begitu berharga.
Suara-suara binatang gurun pun terdengar semakin jelasnya. Dan oasis itu masih disitu! Penuh dengan segala isinya seperti yang kulihat di kala itu.

Aku mulai menghampirinya. Berpacu dengan waktu sebelum gurun menjadi tempat peristirahatan terakhirku. Dengan langkah gontai,aku mendekat dan melihat dia tersenyum lembut kepadaku,seakan aku adalah salah seorang anggota keluarganya yang telah lama tidak berjumpa. Dan aku menatapnya dengan tatapan manja,layaknya seorang anak kecil yang telah lama berpisah dari ibunya.

Aku cukup terkejut dengan perlakuan yang ia berikan. Ia memberikanku segalanya yang aku butuhkan agar aku dapat berbicara kembali layaknya sediakala. Lalu ia mulai bertanya “Bolehkah aku tahu,siapa kamu dan darimana asalmu?”. Aku, dengan suara yang mulai terkumpul kembali menjawab,”Aku Nara dan aku berasal dari sebuah ibukota di sebuah negara yang seharusnya besar dan maju..”. Lalu ia bertanya,”Mengapa engkau lebih memilih berada di padang pasir ganas ini daripada kehidupanmu di kota tersebut?”. Aku sedikit terdiam,lalu aku memulai “Aku hanyalah potongan kecil dari sebuah puzzle besar yang disusun dengan penuh kebohongan dan kebencian. Karena dengan ukuranku inilah,aku justru dibuang… Aku hanya ingin merubah apa yang telah ada. Aku ingin menghapus semua kebohongan yang terjadi di muka bumi ini sekalipun harus mengorbankan nyawa,namun apa dayaku,aku hanyalah serpihan kecil dari debu kenistaan yang semakin merebak.”. Lalu ia dengan suara lembutnya berkata “Aku akan berusaha terus mendampingimu karena mungkin hanya ini yang dapat kulakukan untukmu..”

Aku membasuh wajahku dan membersihkan ragaku. Lalu aku membersihkan batinku dengan air yang telah ia sediakan untuk mensucikan diriku dari kotoran-kotoran dunia yang merana ini. Aku terharu dengan semua yang telah ia lakukan terhadapku,dan aku teringat sesuatu. Aku belum menanyakan tentang dirinya.

Aku menghampirinya lebih dekat lagi disaat aku melihat wajahnya semakin cantik dengan pencitraan cahaya yang indah dari sang Mentari. Aku menegurnya dan berkata “Hey,aku belum mengetahui apapun tentangmu. Bolehkah aku mengetahui namamu?”. Dengan tersipu malu ia menjawab “Kau dapat memanggilku Wulan”. Sebuah nama yang cukup asing di tempat seperti ini,namun aku tetap saja masih tersirat sebuah rasa heran. Aku baru mengenalnya,namun ia telah membuatku seakan kehidupan lampau telah mempertemukan kami dalam suatu kehidupan.

Diakhir pembicaraan,ia mengatakan “engkau bisa mengenal salah seorang saudaraku. Ia adalah sesuatu yang langka di Bumi yang fana ini. Carilah tentang Ruby hijau yang cantik jelita.”

Setelah aku kembali menggapai nafasku dan sayapku pun telah pulih kembali,aku berniat melanjutkan perjalananku kembali. Tanpa maksud untuk melukai hatinya,aku pun berkata “Hai saudaraku,aku ingin menyampaikan sesuatu terhadapmu.. Bolehkah?”. Aku dapat menangkap sebuah rasa sedikit cemas dan takut yang ia rasakan terhadap kalimatku tadi. Lalu ia berkata dengan lemahnya “Um,apakah yang ingin engkau katakan wahai saudaraku?”. Dengan sedikit rasa takut ini akan melukai hatinya,aku pun mulai melanjutkan “Sebenarnya,aku ingin meminta izin kepadamu agar aku diperbolehkan untuk melanjutkan perjalananku kembali. Aku rasa, aku masih belum menemukan apa yang menjadi tujuanku. Maukah kau mengizinkan aku tuk pergi?”. Ia tertunduk lama sekali dalam reaksinya yang begitu spontan. Lalu dengan anggukan lemah,ia berkata “Baiklah”. Terbersit sebuah rasa bersalah dalam diriku terhadap keinginan bodohku ini,lalu aku berusaha menghiburnya dengan berkata “Aku akan kembali lagi padamu suatu saat nanti. Dan aku akan membawakan semua cerita tentang dunia dalam perjalananku”. Dan sebuah senyum cerah mengembang dari wajahnya yang bersih. Lalu ia berkata “Aku telah menganggapmu bagaikan saudara kandungku yang telah lama hilang. Maka aku akan mengingatmu selama engkaupun mengingatku. Dan selama itu pula,aku akan menunggumu pulang..”.

Aku mengucapkan salam perpisahan sebelum pergi kepadanya,dan dia tersenyum manis. Aku mulai beranjak pergi dengan seluruh perbekalan yang telah ia sediakan untukku. Semakin lama,aku tak lagi mampu melihat keberadaan dirinya di belakangku. Dan aku mulai merindukannya…
(19 September 2010)

No comments:

Post a Comment